Definisi remote sensing

Definisi PENGINDERAAN JAUH

Definisi penginderaan jauh beraneka ragam yang umumnya akan terkait dengan pemanfaatan alat tersebut untuk membantu aktivitas kerja atau penelitian. Berikut ini beberapa definisi penginderaan jauh yang kami rangkum dari buku “Penginderaan Jauh” karya Prof. Dr. Sutanto.


Remote sensing is the science and art of obtaining information about an object, area, or phenomenon through the analysis of data acquired by a device that is not in contact with the object, area, or phenomenon under investigations (Lillesand dan Keifer, 1979).

Remote sensing refers to the variety of techniques that have been depeloped for acquisition an analysis of information about the earth. This information is typically in the form of electromagnetic radiation that has either been reflected or emitted from the earth surface (Lindgren, 1985).

            Pada umumnya sensor sebagai alat pengindera dipasang pada wahana (platform) berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik, atau wahana lainnya. Obyek yang diindera adalah obyek di permukaan bumi,  dirgantara, atau antariksa. Proses penginderaan dilakukan dari jarak jauh sehingga sistem ini disebut sebagai penginderaan jauh.
            Sensor dipasang pada lokasi yang berada jauh dari obyek yang diindera . Oleh karena itu, agar sistem dapat bekerja diperlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut. Antara tenaga dan obyek yang diindera terjadi interaksi. Masing-masing obyek memiliki karakteristik tersendiri dalam merespon tenaga yang mengenainya, misalnya air menyerap sinar banyak dan hanya memantulkan sinar sedikit. Sebaliknya, batuan karbonat atau salju menyerap sinar sedikit dan memantulkan sinar lebih banyak.
            Interaksi antara tenaga dengan obyek direkam oleh sensor. Perekaman menggunakan kamera atau alat perekam lainnya. Hasil rekaman ini disebut data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh harus diterjemahkan menjadi informasi tentang obyek, daerah, atau gejala yang diindera. Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analisis atau interpretasi data.           
            Penginderaan jauh didefinisikan pula sebagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi.
            Berbeda dengan Lillesand dan Kiefer yang memandang penginderaan jauh sebagai ilmu dan teknik, Lindgren memandangnya sebagai teknik, yaitu teknik untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Sasaran yang terletak di permukaan bumi tentu saja meliputi sasaran hingga kedalaman tertentu, tidak hanya yang tampak langsung di atasnya. Demikian pula halnya dengan sasaran yang berupa atmosfer. Bulan dan planet lain pun telah menjadi sasaran penginderaan jauh sejak dasawarsa 1960-an.

 

definisi Citra

Citra merupakan salah satu dari beragam hasil proses penginderaan jauh. Definisi citra banyak dikemukakan oleh para ahli, salah satu di antaranya pengertian tentang citra menurut Hornby (1974; dalam Sutanto, 1992) yang dapat ditelaah menjadi lima, berikut ini tiga di antaranya:
1)      Likeness or copy of someone or something, especially one made in wood, stone, etc.
2)      Mental pictures or idea, concept of something or someone.
3)      Reflection seen in a mirror or through the lens of a camera.       
Citra penginderaan jauh termasuk dalam pengertian yang ke-tiga menurut Hornby. Citra merupakan gambaran yang terekam oleh kamera atau sensor lainnya.
Simonett et al. (1983) mengutarakan dua pengertian tentang citra yaitu:
1)      The counterpart of an object produced by the reflection or refraction of light when focused by a lens or a mirror.
2)      The recorded representation (commonly as a photo image) of object produced by optical, electro-optical, optical mechanical, or electrical means. It is generally used when the EMR emitted or reflected from a scene is not directly recorded on film.
      Di dalam Bahasa Inggris ada dua istilah yang masing-masing diterjemahkan dengan citra, yaitu image dan imagery. Berikut ini dikemukakan batasan kedua istilah tersebut menurut Ford (1979; dalam Sutanto, 1992).
1)      Image is representation of an object or scene; an image is usually a map, picture, or photograph.
2)      Imagery is visual representation of energy recorded by remote sensing instrument.
            Bila kita berpegang pada batasan ini maka penggunaan istilah image bagi citra penginderaan jauh tidak salah, akan tetapi penggunaan istilah imagery akan lebih benar. Berbagai pustaka dalam bahasa Inggris, baik istilah image maupun imagery sama-sama sering digunakan.

Interpretasi DATA HASIL PENGINDERAAN JAUH

Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi obyek serta menilai arti pentingnya obyek tersebut. Berikut ini definisi menurut Estes dan Simonett (1975; dalam Sutanto, 1992):
Image interpretation is defined as the act of examining photographs and or images for the purpose of identifying object and judging their significance.
            Penafsir citra mengkaji citra dan berupaya melalui proses penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti pentingnya obyek yang tergambar pada citra. Penafsir citra berupaya untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra dan menerjemahkannya ke dalam disiplin ilmu tertentu seperti geologi, geografi, ekologi, dan disiplin ilmu lainnya.
            Ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan dalam pengenalan obyek melalui citra / foto udara, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi ialah pengamatan adanya suatu obyek. Identifikasi ialah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut mengenai obyek tersebut.
Deteksi berarti penentuan ada atau tidak adanya sesuatu obyek pada citra,  merupakan tahap awal dalam interpretasi citra. Keterangan yang diperoleh pada tahap deteksi bersifat global. Keterangan yang diperoleh pada tahap interpretasi selanjutnya, yaitu pada tahap identifikasi, bersifat setengah rinci. Keterangan rinci diperoleh dari tahap akhir interpretasi, yaitu tahap analisis (Lintz dan Simonett,  1976).
Lo (1976), menyimpulkan pendapat Vink, mengemukakan bahwa pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri atas dua tingkat, yaitu pengenalan obyek melalui proses deteksi dan identifikasi, dan penilaian pentingnya obyek yang telah dikenali tersebut. Tingkat pertama berarti perolehan data, sedang tingkat kedua berupa interpretasi atau analisis data. Komputer hanya bisa melakukan upaya tingkat pertama sedangkan tingkat kedua harus dilakukan oleh orang yang memiliki bekal ilmu pengetahuan cukup memadai pada disiplin tertentu.

PENGINDERAAN JAUH SEBAGAI ILMU

            Dua batasan penginderaan jauh yang telah diutarakan sebelumnya menunjukkan bahwa penginderaan jauh dapat dipandang sebagai ilmu maupun sebagai teknik. Jika dipandang sebagai ilmu maka harus bersifat jelas karakteristiknya. Bagi penginderaan jauh, karakteristik yang jelas antara lain terdapat pada lingkup studi, konsepsi dasar, metodologi, dan filosofi (Sutanto, 1992). Berikut ini diutarakan empat pendapat pakar kenamaan lain di samping Lillesand dan Kiefer yang mengutarakan bahwa penginderaan jauh merupakan ilmu, yaitu: (1) Jensen dan Dahlberg, (2) Kardono Darmoyuwono, (3) Lueder, dan (4) Everett dan Simonett.   
            Jensen dan Dahlberg (1986) mengemukakan bahwa penginderaan jauh dan kartografi termasuk teknik di dalam geografi. Meskipun demikian, dua teknik ini tumbuh menjadi disiplin baru di dalam geografi. Perubahannya menjadi disiplin baru dicirikan oleh tanda-tanda yang cukup jelas, yaitu bahwa keduanya memiliki metodologi, teknik, dan orientasi intelektual yang dalam perkembangannya mengikuti kurva perkembangan ilmu. Ada dua beda utama antara kartografi dan penginderaan jauh. Pendidikan penginderaan jauh tidak hanya dilaksanakan oleh geografiwan, melainkan oleh berbagai bidang keahlian. Meskipun demikian, pendidikan penginderaan jauh di Amerika Serikat lebih banyak dilakukan oleh geografiwan bila dibandingkan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pakar lainnya. Dari 691 pendidikan penginderaan jauh yang dilaksanakan di seluruh Amerika Serikat, 36% dilaksanakan di dalam pendidikan geografi, 15% di dalam bidang geologi, sedang sisa yang 49% dilaksanakan oleh 16 bidang keahlian dengan jumlah rata-rata 3% untuk tiap bidang (sutanto, 1992).
            Kardono darmoyuwono (1982; dalam Sutanto, 1992) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan teknik yang berkembang menjadi ilmu. Lingkup studinya terlalu luas untuk dicakup oleh suatu teknik yaitu bagian angkasa dan bagian darat. Dua bagian besar ini dirinci lebih jauh atas tujuh bagian yang lebih kecil. Bagian angkasa terdiri dari sistem sensor, sistem wahana, dan sistem telemetri untuk mengirim data ke stasiun penerima di bumi. Bagian bumi terdiri dari sistem penerimaan data di bumi, sistem pemrosesan data, sistem penyimpanan data dan distribusi data, dan sistem penafsiran serta pemakaian data. Semua sistem ini masing-masing memerlukan pakar yang bidang keahliannya tersendiri, misalnya bidang pertanian, geologi, kehutanan, ekologi, kepurbakalaan dan sebagainya. Pada penjelasan ini maka pendapat beliau lebih ditekankan pada lingkup studi panginderaan jauh.
            Lueder (1959) mengemukakan bahwa penginderaan jauh sebagai suatu ilmu dan teknik. Penginderaan jauh juga dapat dipandang sebagai teknik bagi ilmu lain. Di dalam penjelasannya, Lueder mengambil batasan ilmu dari Webter’s New Collegiate Dictionary, yaitu (1) pengetahuan yang diperoleh dengan studi dan latihan, (2) suatu bagian pengetahuan yang sistematik, (3) seni atau keterampilan, terutama tentang humor atau sport, seperti misalnya ilmu tinju, (4) suatu cabang studi yang dilakukan dengan jalan observasi dan klasifikasi fakta, terutama dengan menciptakan hukum melalui alur induksi dan hipotesis, (5) himpunan pengetahuan sistematik yang disusun untuk menemukan kebenaran secara umum atau penemuan hukum secara umum, dan (6) pengetahuan tentang dunia fisik yang disebut ilmu alam. Penginderaan jauh merupakan ilmu karena (1) dilakukan atau diperoleh dengan jalan belajar dan latihan seperti pada batasan 1, (2) merupakan pengetahuan sistematik seperti pada batasan 2, (3) dilakukan dengan observasi dan klasifikasi fakta karena foto udara dan citra lainnya menyajikan gambaran tentang kenyataan yang ada dipermukaan bumi, sesuai dengan batasan 4, dan (4) dapat digunakan untuk menemukan kebenaran secara umum seperti misalnya sebagai model medan, sesuai dengan batasan 5.
            Everett dan Simonett (1976) mengutarakan bahwa penginderaan jauh merupakan ilmu, antara lain karena karakteristiknya yang berupa (1) konsepsi dasar dan (2) filosofi. Ada empat konsepsi dasar yang mencirikan penginderaan jauh sebagai ilmu, yaitu (a) diskriminasi, (b) resolusi, (c) strategi jamak, dan (d) peranannya berkaitan dengan pengelolaan. Sebagai ilmu yang belum lama berkembang, asas yang mencerminkan kebenaran secara umum masih berupa konsepsi tersebut. Dengan melalui analisis cermat dalam waktu lama, konsepsi tersebut akan berkembang menjadi asas.
Penginderaan jauh bersifat multitingkat karena penginderaannya dapat dilakukan dari ketinggian yang berbeda-beda, yaitu dari pesawat terbang dengan ketinggian antara sekitar 1 km hingga 24 km di atas permukaan bumi dan dari satelit dengan ketinggian antara 150 km hingga 40.000 km bagi satelit yang mengorbit bumi. Bersifat multitemporal karena penginderaannya dapat dilakukan pada saat yang berbeda-beda. Sistem penginderaan multispektral ialah penginderaan atas satu daerah dengan menggunakan lebih dari satu sensor atau detektor yang masing-masing menggunakan spektrum elektromagnetik berbeda-beda. Multipolarisasi ialah polarisasi lebih dari satu bidang. Tenaga elektromagnetik yang mengenai obyek dapat dipandang menjalar melalui segala bidang. Tenaga yang dipantulkan obyek dapat dipolarisasi, yaitu dibuat hanya melalui satu bidang. Contoh multipolarisasi yaitu misalnya polarisasi untuk obyek yang berupa air dibuat berlainan dengan polarisasi bagi obyek yang berupa vegetasi. Multiarah yaitu arah sensornya berbeda-beda, misalnya tegak-lurus ke bawah, miring ke kanan, atau miring ke kiri. Penajaman citra ialah pemrosesan citra agar ia tampak lebih tajam, yaitu beda antara gambaran yang satu dengan lainnya menjadi lebih jelas. Penajaman citra secara digital dapat dilakukan antara lain dengan merentang kontras (contrast stretch), penajaman tepi (edge enhancement), dan pemutaran sumbu koordinat (principal component analysis). Multipenajaman ialah penggunaan lebih dari satu penajaman secara bersama.
Informasi yang diperoleh dengan cara multitingkat, multispektral, multitemporal, multipolarisasi, multiarah, dan multi penajaman pada umumnya lebih banyak bila dibanding dengan informasi yang diperoleh melalui satu tingkat, satu waktu, satu spektrum, satu polarisasi, satu penajaman, dan satu arah. Berbeda dengan ilmu lainnya maka peranan penajaman jauh sangat besar di dalam sistem informasi data dan pengelolaannya. Peranannya antara lain untuk mendeteksi perubahan, kalibrasi bagian lain pada sistem yang sama, substitusi data lain sesudah dilakukan kalibrasi, dan pengembangan model baru dalam satu disiplin ilmu.
Abler, Adams, dan Gould (1972) mengutarakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains dikembangkan dan dilaksanakan oleh kelompok-kelompok pakar dengan tugas yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, tugas mereka tertuju ke arah pemecahan masalah. Kita ketahui bahwa masalah dapat dirumuskan sebagai (1) sesuatu yang aneh, yang tidak biasa, tidak pada tempatnya, (2) sesuatu yang kurang jelas, dan (3) sesuatu yang menimbulkan tantangan  (Tejoyuwono, 1982).
Kelompok yang langsung berhadapan dengan masalah disebut praktisi. Mereka melakukan pekerjaan untuk memecahkan masalah tanpa memikirkan cara-cara baru untuk melaksanakannya. Cara yang dipergunakan merupakan cara yang telah dipelajari di sekolahnya. Sebagai contoh, dokter yang melakukan operasi usus buntu dengan menggunakan cara yang telah dipelajari di Fakultas Kedokteran. Demikian pula halnya dengan geologiawan yang mendesain eksplorasi sumberdaya mineral menggunakan metode yang telah ada. Jumlah praktisi lebih banyak bila dibanding dengan jumlah kelompok lain.
Di atas praktisi ada kelompok metodologiwan. Mereka bertugas untuk mempelajari dan mengembangkan metode baru. Di atasnya lagi ada teoriwan yang bertugas memikirkan tentang cara-cara orang berpikir atas apa yang dilakukan dalam ilmu, bertugas untuk menyusun teori baru, mengembangkan teori yang ada, atau menyanggah teori yang telah ada bila teori tersebut ternyata lemah. Di atas segala kelompok ini ada kelompok kecil yang disebut filosofiwan yang bertugas untuk memecahkan masalah abstrak yang sifatnya mendasar bagi ilmu pengetahuan. Mereka itulah yang meletakkan landasan bagi kerangka konseptual ilmu pengetahuan.
            Everett dan Simonett (1976) menyatakan bahwa yang menjadi masalah utama bagi para filosofiwan dalam penginderaan jauh yaitu antara lain (1) tingkat konsistensi informasi yang diperoleh, (2) pengubahan ujud alamiah menjadi ujud budaya (artefacting), (3) ketidak-pastian, (4) tidak tepatnya ekstrapolasi antara data yang skalanya berbeda, (5) masalah informasi yang bergantung pada skala, dan (6) keanekaan parameter lingkungan secara spasial dan secara temporal untuk diubah menjadi data penginderaan jauh (environmental modulation transfer function).
            Data dan informasi yang tidak konsisten merupakan masalah bagi kebanyakan sumber data. Data penginderaan jauh pun tidak luput dari masalah ini. Meskipun demikian, data penginderaan jauh secara relatif lebih konsisten bila dibandingkan dengan sumber data lainnya. Hasil penelitian penggunaan lahan dan kualitas lingkungan yang dilakukan oleh Tibault et al. menunjukkan bahwa data penginderaan jauh dapat meningkatkan konsistensi data dasarnya dan meningkatkan kerinciannya.
            Di samping dapat meningkatkan konsistensi data lain bila digunakan untuk tema tertentu, konsistensi data penginderaan jauh memang masih perlu dipertanyakan. Hubungan antara konsistensi data, resolusi sistem penginderaan jauh, dan kerumitan lingkungan dapat disajikan dalam bentuk formula berikut (Sutanto, 1992):
K = f (R (s, p, r, t), L (s, k, q, t) D)      ……………………………………….  (1)
Keterangan:
K = tingkat konsistensi
R = resolusi sistem penginderaan jauh yang berkaitan dengan komponen
       resolusi spasial (s), spektral (p), radiometrik (r), dan temporal (t)
L = kerumitan lingkungan yang berkaitan dengan agihan frekuensi spasial
      (s), kategorik (k), kuantitatif (q), dan temporal (t) lingkungan suatu
       daerah (D)
Konsistensi berbanding terbalik terhadap kerumitan lingkungan dalam ruang dan waktu serta luas daerah yang dikaji, dan konsistensi berbanding lurus terhadap resolusi sistem penginderaan jauh. Berdasarkan uraian tersebut maka mudah dimengerti bahwa konsistensi yang tinggi untuk daerah luas hanya dapat diperoleh bagi kategori yang bersifat umum, tidak rinci. Semakin tinggi kerinciannya, semakin rendah konsistensinya.
            Berdasarkan pendapat empat orang pakar kenamaan yang telah dikemukakan maka kita sependapat bahwa penginderaan jauh merupakan ilmu. Bila penginderaan jauh digunakan oleh pakar lain untuk menopang penelitian atau pekerjaannya, maka penginderaan jauh merupakan teknik bagi mereka itu.

PERKEMBANGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

            Pengukuran berdasarkan jumlah bidang penggunaannya maupun dari frekuensi penggunaannya pada tiap bidang, penggunaan penginderaan jauh meningkat pesat. Peningkatan penggunaan dilandasi oleh beragam alasan.
            Sekurang-kurangnya ada enam alasan yang melandasi peningkatan penggunaan penginderaan jauh (Sutanto, 1992), yaitu:
1.      Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan (a) ujud dan letak obyek yang mirip dengan yang ada di permukaan bumi, (b) relatif lengkap, (c) meliputi daerah yang luas, dan (d) permanen.
Karena ujud dan letak obyek yang tergambar pada citra mirip ujud dan letaknya di permukaan bumi maka citra merupakan alat yang baik untuk pembuatan peta, baik sebagai sumber data maupun sebagai kerangka tata letak. Bagi daerah yang belum ada petanya dapat menggunakan citra sebagai substitusi peta. Citra dapat pula dikatakan sebagai model medan. Berbeda dengan peta yang merupakan model simbolik dan formula matematik yang merupakan model analog, citra (terutama foto udara) merupakan model ikonik karena ujud gambarnya mirip ujud obyek sebenarnya.
Tiap obyek yang tidak terlalu kecil ukurannya dan tidak terlindung oleh obyek lainnya, tergambar pada citra. Gambaran yang lengkap ini memungkinkan penggunaannya untuk pelbagai bidang, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Kondisi ini menguntungkan sekali bagi pendekatan terpadu yang karena banyak masalah yang pemecahannya memang memerlukan pendekatan terpadu. Bila citra digunakan oleh beragam bidang keahlian untuk satu tujuan, maka dikenal sebagai penggunaan secara interdisipliner. Bila tanpa koordinasi, pendekatannya disebut multi disipliner. Kita tentu saja lebih menghendaki pendekatan interdisipliner. Namun demikian, pada pustaka penginderaan jauh lebih banyak disebut istilah multidisipliner. Satu citra dapat digunakan untuk beragam bidang seperti geologi, hidrologi, geografi, biologi, kehutanan, dan pertanian, oleh karena itu harga tiap citra secara relatif menjadi lebih murah.
Satu lembar citra meliputi daerah luas. Bagi foto udara berskala 1: 50.000 dan berukuran standar yaitu 23 cm x 23 cm, tiap foto meliputi daerah seluas 132 km². Satu lembar foto udara berskala 1:100.000 meliputi daerah seluas 529 km². Satu lembar citra satelit Landsat generasi ke-4 yang dibuat dari ketinggian 700 km di atas permukaan bumi meliputi daerah seluas 34.000 km². Dari angka-angka tersebut dapat dibayangkan betapa luas daerah yang dapat diamati secara sinoptik sehingga memungkinkan analisis spasial dengan lebih nyata. Bila kita datang ke medan di permukaan bumi, memang kita dapat melihat obyek atau daerah secara lebih rinci, akan tetapi pengamatan kita terbatas pada jarak pandang mata yang sangat terbatas jangkauannya. Kita tidak dapat mengamati medan secara sinoptik, melainkan hanya sebagian demi sebagian. Kemungkinan pengamatan secara sinoptik ini merupakan salah satu keunggulan citra bila dibandingkan dengan alat lainnya. Di samping citra, hanya peta yang mampu menyajikan gambaran sinoptik. Meskipun demikian, gambaran sinoptik pada citra lebih jelas karena gambarannya lebih mirip obyek sebenarnya, sedang gambaran pada peta hanya berupa simbol.
2.      Jenis citra tertentu dapat membentuk gambaran tiga dimensional apabila pengamatannya dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut stereoskop.
3.      Karakteristik  obyek yang tak tampak dapat diujudkan dalam bentuk citra sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya.
Obyek dapat dikenali antara lain berdasarkan suhunya, yaitu yang direkam pada citra inframerah termal. Kota yang tak tampak pada malam hari, dengan spektrum inframerah termal dapat diujudkan dalam bentuk citra yang cukup jelas. Kebocoran pipa gas bawah tanah atau kebakaran tambang batu bara bawah tanah mudah dikenali pada citra inframerah termal. Obyek tersebut tidak tampak karena terletak di bawah permukaan tanah. Meskipun terlihat langsung oleh mata, air panas yang keluar dari industri tidak dapat dibedakan terhadap air lainnya karena tampak dengan ujud yang sama. Air panas dapat dikenali dengan baik pada citra inframerah termal, termasuk jaraknya dari industri asalnya. Pengetahuan semacam ini penting dalam rangka menjaga kelestarian kehidupan pada ekologi perairan.
Mata manusia tidak dapat melihat tanaman yang mulai diserang penyakit atau bangunan di pangkalan udara yang diberi bentuk samaran, karena mata manusia hanya mampu menggunakan tenaga elektromagnetik pada seluruh spektrum tampak. Dengan menggunakan saluran sempit tertentu pada spektrum tampak, tanaman yang mulai diserang penyakit dapat diujudkan dalam citra sehingga ia dapat dikenali sebelum mata dapat mengenalinya. Dengan menggunakan spektrum inframerah dekat, bentuk bangunan asli yang diberi bentuk samaran dan tidak tampak bila dilihat dari pesawat terbang dapat diujudkan dalam citra dan dikenali dengan baik.
4.      Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terrestrial.
Pemetaan atau penelitian daerah rawa, hutan, dan pegunungan akan sulit sekali, lama pelaksanaannya, dan memerlukan biaya tinggi. Bila kondisi cuaca memungkinkan, daerah-daerah tersebut dapat dipotret dengan cepat. Perekaman satu lembar foto udara yang meliput daerah seluas 132 km² dilakukan dalam waktu kurang dari satu detik, sedang perekaman citra Landsat yang meliput daerah seluas 34.000 km² dilakukan dalam waktu 25 detik. Di samping itu, interpretasi citra dapat dilaksanakan dalam ruang (laboratorium) pada siang atau malam hari, dalam keadaan hujan sekalipun. Inilah yang menyebabkan bahwa penggunaan teknik penginderaan jauh untuk pemetaan dan penelitian berarti penghematan waktu dan biaya dengan ketelitian hasil yang memadai. Paine (1981) mengajukan sebuah pertanyaan menarik, yaitu: “Tidakkah anda ingin menghemat 35% dana anda? Dana sebesar itulah yang dihemat oleh AS setiap tahunnya karena pemetaannya dilakukan dengan menggunakan foto udara”.
5.      Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana.
Tidak ada cara lain yang mampu memetakan daerah bencana secara cepat pada saat terjadi bencana, seperti misalnya pemetaan daerah banjir, daerah yang terkena gempabumi, dan terkena angin ribut. Demikian pula halnya bagi gunungapi yang sedang meletus seperti letusan gunungapi Galunggung pada tahun 1982 yang terekam antara lain pada citra satelit cuaca GMS dan NOAA.
6.      Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek, yaitu misalnya 16 hari untuk citra Landsat IV dan dua kali tiap hari bagi citra NOAA. Dengan demikian maka citra merupakan alat yang baik sekali untuk memantau (monitoring) perubahan cepat seperti pembukaan daerah hutan, pemekaran kota, perubahan kualitas lingkungan dan perluasan lahan garapan.

GHOZIAN ISLAM KARAMI
140710080013

0 komentar:

Posting Komentar

berikan komentar


ShoutMix chat widget

About this blog

blog ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah teknologi informasi jurusan geologi unpad.. blog ini disusun oleh kelompok 1a yang beranggotakan NISA INDAH P; Maurice; Ghozian; Afryan; Oktarian ; Annisa Barkah; Husnul; Raden Haryo; Tommy; Lutfi A H; Hafis Aditya Dafani; Aditya Rangga; ; Putu Ayu A; Arif Kurniawan